Istilah
“’Ilm Al-Balaghah” terdiri atas dua kata, yaitu ‘ilm dan al-Balaghah. Kata
“‘Ilm” dapat ditujukan sebagai nama suatu bidang tertentu. Kata “Ilm” juga
diartikan sebagai materi-materi pembahasan dalam kajian suatu disiplin ilmu
(al-Qadhaya allati tubhatsu fihi). Kata “ilm” juga dapat diartikan sebagai
pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam suatu bidang
tertentu.[4]
Sedangkan kata “al-Balaghah” didefinisikan oleh para ahli dalam bidang ini
dengan definisi yang beragam, diantaranya adalah:
1. Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul Wadhihah:
أما البلاغة فهي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة لها في النفس أثر خلاب مع ملائمة كل كلام للموطن الذي يقال فيه والأشخاص الذين يخاطبون.
“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara”.[5]
1. Menurut Dr. Abdullah Syahhatah :
الحد الصحيح للبلاغة في الكلام هو أن يبلغ به المتكلم ما يريد من نفس السامع بإصابة موضع الإقناع من العقل والوجدان
“Definisi yang benar untuk term Balaghah dalam kalimat adalahkeberhasilan si pembicara dalam menyampaikan apa yang dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar (penerima), dengan tepat mengena ke sasaran yang ditandai dengan kepuasan akal dan perasaannya”.[6]
1. Menurut Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin :
البلاغة هي مطابقة الكلام لمقتضى الحال مع فصاحته
Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan situasi disamping ungkapan itu sendiri sudah fasih.[7]
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa inti dari Balaghah adalah penyampaian suatu pesan dengan menggunakan ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan kandungan maksudnya, tetap memperhatikan situasi dan kondisi pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima pesan, serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan tersebut.
Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan materi-materi yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai Balaghah itu sendiri.
C. Ilmu Balaghah Dalam Perspektif Sejarah
1. Balaghah Pra Turunnya Al-Qur’an
Kelahiran dan pertumbuhan Balaghah dikalangan masyarakat penggunanya bersifat arbitrer. Orang-orang Arab Jahiliyah pra turunnya al-Qur’an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka mampu menggubah lirik-lirik sya’ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang bernilai tinggi. Perhatikanlah misalnya apa yang diungkapkan oleh Imru’ al-Qays salah seorang pujangga Arab Jahiliyah pada saat malam gelap gulita dimana kedua bola matanya sulit terpejam karena mendengar informasi tentang kematian sang ayah yang sangat dicintainya :
فقلت له لما تمطى بصلبه # وأردف أعجازا وناء بكلكل
“Maka kukatakan kepadanya (malam) ketika ia menghimpitku dengan segenap tubuhnya dan menyesakkan dadaku dengan perasaan sedih dan duka cita yang tak terucapkan”.[8]
Duka nestapa dan kesedihan yang begitu abstrak diekspresikan dalam bentuk gaya bahasa yang figurative dan indah sekali. Keindahan bahasa puisi tersebut jelas dan terasa sekali pada kemampuan si penggubahnya dalam menggambarkan hal-hal yang bersifat abstrak menjadi kongkrit, hingga seakan-akan dapat diraba keberadaannya.
Dan resapi serta renungkanlah betapa indahnya gubahan beberapa lirik syai’r yang begitu puitis dalam menggambarkan keadaan yang dialami oleh penyair tatkala ia merasa begitu tersiksa secara psikis dan mental akibat rindu yang begitu mendalam terhadap sang kekasih yang sangat dicintainya. Namun karena adanya jarak yang menghalangi, maka mereka tidak pernah bisa bersua untuk mengobati kerinduannya. Akhirnya keluarlah dari mulut salah seorang diantara mereka lirik-lirik bait syair yang begitu indah untuk menggambarkan keadaan tersebut.
بكيت على سرب القطا إذ مررن بـي # فقلت ومـثـلي بالبكاء جـديـر
أ سرب القطا هل من يـعـير جناحه # لـعلي إلـى من قد هـويت أطـير
فـجاوبـنـي من فوق غصن أراكة # ألا كلـنـا يا مستـعـير نـعـير
فأي قـطاة لم تـعـرك جـنـاحـه # تـعـيـش بذل والجـنـاح كسـير
Artinya: “Aku menangisi sekawanan burung merpati tatkala mereka melintas dihadapanku, dan akupun bergumam: orang seperti diriku memang layak untuk menangis. Wahai kawanan burung merpati, Adakah diantara kalian yang sudi untuk meminjamkan sayapnya kepadaku, agar aku dapat terbang tuk menemui kekasih yang kucintai. Merekapun nyeletuk menjawab permintaanku dari atas ranting pohon arak, Hai orang yang bermaksud meminjam sayap kami, ketahuilah bahwa kami juga sebenarnya sekedar dikasih pinjam. Maka tidak ada seekor burung merpatipun yang rela tuk meminjamkan sayapnya, karena( jika itu terjadi) pasti ia akan hidup dalam keadaan hina dan sayapnya akan patah”.
Perasaan rindu yang terpendam dan berkecamuk serta perasaan asmara yang bergejolak melahirkan perasaan sedih yang mendalam yang diekspresikan dengan cucuran airmata tertuang dalam gubahan syair tersebut dengan indah sekali. Keadaan tersebut diadukan kepada kawanan burung-dalam bentuk dialog personifikatif-yang dilihat oleh penyair sebagai kelompok makhluk yang beruntung karena dilengkapi dengan sayap yang membuat mereka dapat terbang kemanapun mereka suka. Tidak seperti diri penyair yang terisolir dan nasibnya yang terpasung tidak dapat pergi menemui sang kekasih yang sudah lama didambakannya.
Perkembangan kesusastraan Arab pada era jahiliyah diwarnai oleh adanya perkembangan berbagai bentuk sastra, baik prosa maupun puisi yang dikembangkan oleh orang-orang Arab pada masa itu. Perkembangan tersebut didukung juga oleh adanya berbagai kegiatan yang berlangsung pada musim haji setiap tahunnya, dengan diadakannya berbagai perlombaan pidato dan perlombaan membaca sya’ir, yang diadakan di berbagai pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di Suq ‘Ukkazh. Kegiatan-kegiatan seperti itu memberi peluang yang besar bagi para ahli sya’ir untuk mengembangkan bahasa dan gaya bahasa mereka dengan ungkapan-ungkapan yang menarik, baik dari segi zahir lafal, keindahan kata yang digunakan, maupun kandungan maknanya.[9]
Selanjutnya Ahmad Thib Raya mengutip pernyataan Syauqi Dheif menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliyah tersebut telah mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan balaghah dan bayan.[10] Orang yang melakukan kajian yang serius dan mendalam terhadap sastra Arab jahiliyah, baik prosa maupun puisinya akan berdecak kagum terhadap produk-produk kesusastraan yang mereka miliki. Hal tersebut tampak jelas dari kemampuan mereka untuk mengekspresikan pikiran-pikiran mereka sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam dunia ke-fasih-an dan ke-balaghah-an.[11]
Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin menyatakan bahwa sastra Arab klasik pra turunnya al-Qur’an ini lebih banyak mengekspresikan sesuatu dalam bentuk tasybih, dan majaz saja, terutama isti’arah.[12]
2. Balagah Pasca Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pra turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.[13]
Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balaghag (nahj al-balaghah) dan merupakan model utama (al-namuzaj al-mitsli) dalam rujukan penggubahan syai’r.
Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam diskursus kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri selalu mengemukakan tantangan (al-tahaddi) kepada siapa saja yang meragukan otentisitasnya untuk mendatangkan ungkapan yang serupa dengannya walau hanya satu surat saja sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat 23 surat al-Baqarah.
Artinya: “Dan jika kalian masih diselimuti keraguan tentang kebenaran apa (kitab) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka (coba) datangkanlah sekedar satu surat yang mirip dengannya dan ajaklah para pembantu kalian selain Allah (yang kalian anggap mampu) jika kalian benar-benar jujur”.
Dan sesungguhnya mereka telah mengakui dan merasakan ketinggian dan keindahan bahasa al-Qur’an, sehingga diantara mereka ada yang meninggalkan syai’r karena lebih tertarik dengan keindahan bahasa al-Qur’an tersebut sebagaimana keterangan yang diperoleh dari Lubaid dan al-Khansa’ dua orang sastrawan dan pujangga besar masa tersebut.[14] Mereka juga berusaha keras untuk mencontoh bahasa Al-Qur’an dan mengembangkan nilai-nilai keindahannya dalam pembicaraan dan penulisan. Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan sekasama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an. Uapaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.[15]
Pengaruh al-Qur’an terhadap Balaghah ‘Arabiyyah tersebut begitu nyata. Hal tersebut ditandai dengan dijadikannya al-Qur’an sebagai objek kajian dalam diskursus-diskursus kebalaghahan yang melahirkan karya-karya besar seperti Kitab Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaidah (w. 207 H) yang ditulis karena adanya ketidakpahaman Ibrahim bin Isma’il terhadap penggunaan tasybih dalam penggambaran sifat syajarat al-Zaqqum (makanan penduduk neraka) dalam firman Allah ayat 65 surat al-Shaffat :
طلعها كأنه رءوس الشياطين .[16]
Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat ini belum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan yang menggembirakan.[17]
Perkembangan Balaghah yang semakin baik tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh yang kompeten dan karya-karya besar mereka pada abad ke-III H, seperti Abu ‘Ubaidah (w. 211 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Ibnu Hasan al-Rumani (w. 284 H), al-Farra’ (w.207 H), dan Al-Jahizh (w. 255 H). Abu ‘Ubaidah menyusun sebuah kitab tentang Majaz al-Qur’an yang bernama Ilmu Majazil Qur’an. Ibnu Quthaibah menulis kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an, dan Al-Farra’ menulis kitab Ma’anil Qur’an yang meski kebanyakan berisi kajian ilmu Nahwu, tapi juga menyinggung kajian ilmu Balaghah. Sedangkan al-Rumani menyusun kitab An-Naktu Fi I’jazil Qur’an.[18] Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin.[19]
Ilmu Balaghah terus mengalami perkembangan sehingga mencapai puncaknya pada abad ke-V H yang ditandai dengan semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam Abdul Qahir al-Jurjani (400-471 H). Kedua kitab tersebut adalah : Pertama, kitab Asrarul Balaghah yang berisi soal-soal majaz, isti’arah, tamtsil, tasybih dan lain-lain dari cabang Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian dari Balaghah. Kedua, kitab Dala’ilul I’jaz, yang berisi tentang keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.[20]
Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki pada abad ke-VII H yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu dengan memetakannya menjadi tiga cabang ilmu sebagai komponennya, yaitu Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, dan Ilmu Badi’. Namun antara ilmu Bayan dan Ilmu Badi’ masih beliau gabung dalam satu ilmu dengan istilah Ilmu al-Mahasin yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu Al-Mahasin al-Lafziyyah dan Ma’nawiyyah. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul ‘Ulum.[21]
Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.[22]
D. Urgensi Ilmu Balaghah
Posisi ilmu Balaghah dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis seperti posisi ruh dari jasad.[23] Keberadaan ilmu Balaghah dan kaidah-kaidah yang tertuang didalamnya sangat urgen. Urgensitas tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah :[24]
1. Ilmu Balaghah merupakan perangkat media yang dapat menghantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang ke-I’jaz-an al-Qur’an;
2. Ilmu Balaghah merupakan salah satu instrument yang dapat membantu seorang yang bergelut dengan diskursus al-Qur’an terutama mufassir dalam memahami kandungan isi al-Qur’an dan pesan-pesan yang tertuang didalamnya. Hal ini diperjelas oleh pernyataan al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf :
… إن أملأ العلوم بما يغمر القرائح وأنهضها بما يبهر الألباب القوارح من غرائب نكت يلطف مسلكها ومستودعات أسرار يدق سلكها علم التفسير الذي لا يتم لتعاطيه وإجالة النظر فيه كل ذي علم, ولا يغوص على تلك الحقائق إلا رجل قد برع في علمين مختصين بالقرآن, وهما علما المعاني والبيان.
“Sesungguhnya ilmu yang paling sarat dengan noktah-noktah rahasia yang rumit di tempuh, paling padat dengan kandungan rahasia yang pelik, yang membuat watak dan otak manusia kewalahan untuk memahaminya adalah ilmu tafsir, yakni ilmu yang sangat sulit untuk dijangkau dan diselidiki oleh orang yang berstatus alim sekalipun. Dan tidak akan mampu untuk menyelam kekedalaman hakekat pemahaman tersebut kecuali seseorang yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan”.[25]
Dari pernyataan al-Zamakhsyari tersebut, dapat ditangkap pesan utama bahwa ilmu tafsir merupakan ilmu yang sangat sulit dan pelik, sehingga membutuhkan pelbagai perangkat keilmuan yang mendukung dalam upaya pengkajian dan penafsiran al-Qur’an. Salah satu perangkat utama yang mendukung hal tersebut adalah adanya kompetensi dan penguasaan yang matang tentang dua ilmu utama yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan. Penguasaan kedua ilmu ini merupakan prasyarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menggali isi al-Qur’an.[26]
Hal tersebut dipertegas oleh Al-Zahabi yang mengutip pernyataan para ulama yang mempersyaratkan beberapa syarat mutlak bagi seorang mufassir dalam upaya menafsirkan al-Qur’an terutama tafsir bi al- ra’yi. Setidaknya mereka harus qualified dan menguasai lima belas jenis ilmu yang merupakan ilmu Bantu mutlak dalam upaya tersebut. Diantara kelima belas ilmu yang mesti dikuasai tersebut adalah ilmu al-Balaghah yang mencakup ketiga komponennya (ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’).[27] Berikut pernyataan Al-Zahabi :
الخامس والسادس والسابع : علوم البلاغة الثلاثة (المعاني والبيان والبديع) فعلم المعاني, يعرف به خواص تراكيب الكلام من جهة إفادتها المعنى. وعلم البيان, يعرف به خواص التراكيب من حيث إختلافها بحسب وضوح الدلالة وخفائها, وعلم البديع, يعرف به وجوه تحسين الكلام. وهذه العلوم الثلاثة من أعظم أركان المفسر, لأنه لابد له من مراعاة ما يقتضيه الإعجاز, وذلك لايدرك إلا بهذه العلوم.
Artinya: “Yang kelima, keenam, dan ketujuh adalah ilmu Balaghah yang mencakup tiga komponen ilmu (Ma’ani, Bayan, dan Badi’). Ilmu Bayan berfungsi sebagai instrument untuk mengetahui karakteristik struktur kalimat dari sisi pemberian makna. Ilmu Bayan berfungsi sebagai instrument untuk mengetahui karakteristik suatu struktur kalimat dalam hal perbedaan bentuk sisi kejelasan atau ketidak jelasan tunjukannya. Sedangkan ilmu Badi’ berfungsi sebagai instrument untuk mengenal bentuk-bentuk keindahan suatu ungkapan. Ketiga komponen ilmu ini termasuk bagian yang paling basic yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, karena keberadaan seorang mufassir yang dituntut untuk memperhatikan sisi kei’jazan al-Qur’an. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dia menguasai ketiga komponen ilmu ini”.[28]
E. Fungsi Ilmu Balaghah
Mengenai fungsi ilmu Balaghah ini, penulis berusaha melacak berbagai sumber tentang ilmu ini terutama dalam kaitannya dengan kajian al-Qur’an. Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa setidaknya ada dua fungsi utama yang melekat pada ilmu Balaghah dalam kaitannya dengan kajian ini, yaitu :
1. Fungsi Interpretatif
Yang dimaksud dengan fungsi interpretatif ini adalah penggunaan ilmu Balaghah dalam menjelaskan dan menerangkan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Peranan fungsi ini sangat dominan dalam upaya pengkajian makna-makna teks al-Qur’an, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu ‘Ubaidah dalam kasus ketidakpahaman Ibrahim bin Ismail tentang maksud uslub tasybih dalam ayat 65 surat al-Shaffat: “ طلعها كأنه رءوس الشياطين”. Penggunaan uslub tasybih dalam menggambarkan makanan penduduk neraka berupa syajarat al-zaqqum dalam ayat diatas menimbulkan kesulitan dan kerancauan dalam pemahaman bagi setiap orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang uslub tersebut. Untuk menguraikan interpretasi klausa dalam ayat tersebut sangat dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang ilmu Balaghah. Unsur tasybih dalam klausa ayat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Dhamir “ه” yang melekat pada kata “كأنه” merupakan kata ganti untuk kata “طلع”, yang berposisi sebagai musyabbah. Lafal “كأن” merupakan adat at-tasybih, dan kata “رءوس الشياطين” sebagai musyabbah bih. Sedangkan wajah syabh tidak disebutkan secara eksplisit.
Sebagai salah seorang mufassir yang sangat memperhatikan unsur Balaghah, Imam al-Zamakhsyari dalam menafsirkan maksud ayat tersebut mengawali dengan menjalankan analisnya sesuai dengan analisis ilmu Bayan. Ia menggambarkan mayang pohon zaqqum itu sama dengan kepala-kepala syetan, yang dalam bayang pemikiran manusia sangat menakutkan dan sangat jelek bentuknya. Bayangan kejelekan dan bentuk yang menakutkan itu didasarkan atas keyakinan manusia bahwa setan merupakan makhluk yang paling jahat dan paling menakutkan yang tidak ditemukan padanya sedikitpun kebaikan. Gambaran mengenai mayang pohon zaqqum yang diserupakan dengan kepala-kepala syetan yang begitu menakutkan dan menyeramkan itu hanya ada dalam benak pemikiran manusia saja. Gambaran seperti itu oleh al-Zamakhsyari disebut dengan istilah tasybih takhyili.[29]
1. Fungsi Argumentatif
Kata “Argumen” merupakan kata serapan dari bahasa asing dan dalam bahasa Indonesia biasa diartikan dengan alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Dari kata tersebut lahir istilah “Argumentasi”, yang berarti pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendiriian, atau gagasan. Sedangkan “Argumentatif” adalah memberikan alasan yang dapat dipergunakan sebagai bukti.[30]
Dari pengertian-pengertian kata yang dikemukakan tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan fungsi argumentif ilmu Balaghah adalah suatu fungsi yang dilekatkan bagi ilmu ini dalam upaya memperkuat atau menolak pendapat yang sudah ada tentang al-Qur’an berdasarkan bukti-bukti tertentu. Yang penulis maksud disini adalah pandangan orang yang masih meragukan otentisitas dan keberadaan kitab suci al-Qur’an yang benar-benar datang dari sisi Allah SWT, bahkan cenderung menuduh bahwa kitab tersebut merupakan gubahan tangan Nabi Muhammad Saw. Bagi orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu Balaghah pasti akan menemukan nilai-nilai sastra yang sangat tinggi yang jauh melebihi kemampuan manusia untuk menggubah dan membuat yang mirip dengannya. Oleh karenanya pengetahuannya tentang ilmu Balaghah tersebut dapat menjadi argument yang mendukung ke-I’jaz-an al-Qur’an yang menunjukkan otentisitas kitab tersebut. Pengetahuan tentang Balaghah itu sekaligus membantah tuduhan dan pandangan orang yang menyangsikan otentisitas al-Qur’an selaku kitab suci yang benar-benar bersumber dari sisi Allah SWT, bukan hasil goresan tangan manusia apalagi seperti sosok Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan sifat ke-ummi-annya.
Oleh karena itu, perhatian terhadap kajian ke-balagh-an ini sudah selayaknya menjadi perhatian serius umat Islam terutama pemerhati kajian dan diskursus al-Qur’an. Bahkan Abu Hilal al-‘Askari memandang kedudukan ilmu Balaghah sangat strategis dan utama. Ia menempatkannya dalam urutan kedua setelah ilmu yang berkaitan dengan ma’rifatullah (theology) yang mesti mendapat perhatian serius. Keberadaannya harus dijaga dan dipertahankan lewat pendidikan berkesinambungan. Karena siapa saja yang melalaikan keberadaan ilmu Balaghah pasti ia tidak akan mengetahui sisi kemukjizatan al-Qur’an, baik dari sisi keindahan susunan lafal, keunikan struktur kalimat, maupun keindahan-keindahan lainnya yang berhubungan dengan sisi maknanya.[31]
F. Macam-Macam Ilmu Balaghah
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam kitab Balaghah permulaan, ilmu Balaghah masih belum dipilah kedalam beberapa bagian seperti sekarang ini. Pemilahan ini dirintis oleh Abdul Qahir al-Jurjani, dilanjutkan oleh As-Sakaki, dan dimantapkan lagi oleh Khatib al-Qazwaini. Dalam kitab Talkhisul Miftah yang dikutip oleh Abdul Jalal, beliau menjelaskan macam-macam ilmu Balaghah sebagai berikut: [32]
a). Ilmu Ma’ani, yang membahas segi lafal Arab yang relevan dengan tujuannya. Definisinya yaitu :
علم المعاني هو أصول وقواعد يعرف بها أحوال الكلام العربي التي يكون بها مطابقا لمقتضى الحال بحيث يكون وفق الغرض الذي سيق له
“Ilmu Ma’ani ialah ketentuan-ketentuan pokok dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui ihwal keadaan kalimat Arab yang sesuai dengan keadaan dan relevan dengan tujuan pengungkapannya”.
b). Ilmu Bayan, yang membahas segi makna lafal yang beragam. Definisinya yaitu :
علم البيان هو أصول وقواعد يعرف بها إيراد المعنى الواحد بطرق يختلف بعضها عن بعض في وضوح الدلالة العقلية على نفس ذلك المعنى
“Ilmu Bayan ialah beberapa ketentuan pokok dan kaidah yang dengannya dapat diketahui penyampaian makna yang satu dengan berbagai ungkapan, namun terdapat perbedaan kejelasan tunjukan makna antara satu ungkapan dengan ungkapan lainnya yang beragam tersebut”
c). Ilmu Badi’, yang membahas keindahan kalimat Arab. Definisinya yaitu:
البديع عو علم يعرف به الوجوه والمزايا التي تزيد الكلام حسنا وطلاوة وتكسوه بهاء ورونقا بعد مطابقته لمقتضى الحال
“Ilmu Badi’ ialah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui bentuk-bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai keindahan dan estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan bungkus yang dapat memperbagus dan mepermolek ungkapan itu, disamping relevansinya dengan tuntutan keadaan”. Sumber: Lintas Sastra Arab
1. Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul Wadhihah:
أما البلاغة فهي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة لها في النفس أثر خلاب مع ملائمة كل كلام للموطن الذي يقال فيه والأشخاص الذين يخاطبون.
“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara”.[5]
1. Menurut Dr. Abdullah Syahhatah :
الحد الصحيح للبلاغة في الكلام هو أن يبلغ به المتكلم ما يريد من نفس السامع بإصابة موضع الإقناع من العقل والوجدان
“Definisi yang benar untuk term Balaghah dalam kalimat adalahkeberhasilan si pembicara dalam menyampaikan apa yang dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar (penerima), dengan tepat mengena ke sasaran yang ditandai dengan kepuasan akal dan perasaannya”.[6]
1. Menurut Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin :
البلاغة هي مطابقة الكلام لمقتضى الحال مع فصاحته
Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan situasi disamping ungkapan itu sendiri sudah fasih.[7]
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa inti dari Balaghah adalah penyampaian suatu pesan dengan menggunakan ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan kandungan maksudnya, tetap memperhatikan situasi dan kondisi pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima pesan, serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan tersebut.
Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan materi-materi yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai Balaghah itu sendiri.
C. Ilmu Balaghah Dalam Perspektif Sejarah
1. Balaghah Pra Turunnya Al-Qur’an
Kelahiran dan pertumbuhan Balaghah dikalangan masyarakat penggunanya bersifat arbitrer. Orang-orang Arab Jahiliyah pra turunnya al-Qur’an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka mampu menggubah lirik-lirik sya’ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang bernilai tinggi. Perhatikanlah misalnya apa yang diungkapkan oleh Imru’ al-Qays salah seorang pujangga Arab Jahiliyah pada saat malam gelap gulita dimana kedua bola matanya sulit terpejam karena mendengar informasi tentang kematian sang ayah yang sangat dicintainya :
فقلت له لما تمطى بصلبه # وأردف أعجازا وناء بكلكل
“Maka kukatakan kepadanya (malam) ketika ia menghimpitku dengan segenap tubuhnya dan menyesakkan dadaku dengan perasaan sedih dan duka cita yang tak terucapkan”.[8]
Duka nestapa dan kesedihan yang begitu abstrak diekspresikan dalam bentuk gaya bahasa yang figurative dan indah sekali. Keindahan bahasa puisi tersebut jelas dan terasa sekali pada kemampuan si penggubahnya dalam menggambarkan hal-hal yang bersifat abstrak menjadi kongkrit, hingga seakan-akan dapat diraba keberadaannya.
Dan resapi serta renungkanlah betapa indahnya gubahan beberapa lirik syai’r yang begitu puitis dalam menggambarkan keadaan yang dialami oleh penyair tatkala ia merasa begitu tersiksa secara psikis dan mental akibat rindu yang begitu mendalam terhadap sang kekasih yang sangat dicintainya. Namun karena adanya jarak yang menghalangi, maka mereka tidak pernah bisa bersua untuk mengobati kerinduannya. Akhirnya keluarlah dari mulut salah seorang diantara mereka lirik-lirik bait syair yang begitu indah untuk menggambarkan keadaan tersebut.
بكيت على سرب القطا إذ مررن بـي # فقلت ومـثـلي بالبكاء جـديـر
أ سرب القطا هل من يـعـير جناحه # لـعلي إلـى من قد هـويت أطـير
فـجاوبـنـي من فوق غصن أراكة # ألا كلـنـا يا مستـعـير نـعـير
فأي قـطاة لم تـعـرك جـنـاحـه # تـعـيـش بذل والجـنـاح كسـير
Artinya: “Aku menangisi sekawanan burung merpati tatkala mereka melintas dihadapanku, dan akupun bergumam: orang seperti diriku memang layak untuk menangis. Wahai kawanan burung merpati, Adakah diantara kalian yang sudi untuk meminjamkan sayapnya kepadaku, agar aku dapat terbang tuk menemui kekasih yang kucintai. Merekapun nyeletuk menjawab permintaanku dari atas ranting pohon arak, Hai orang yang bermaksud meminjam sayap kami, ketahuilah bahwa kami juga sebenarnya sekedar dikasih pinjam. Maka tidak ada seekor burung merpatipun yang rela tuk meminjamkan sayapnya, karena( jika itu terjadi) pasti ia akan hidup dalam keadaan hina dan sayapnya akan patah”.
Perasaan rindu yang terpendam dan berkecamuk serta perasaan asmara yang bergejolak melahirkan perasaan sedih yang mendalam yang diekspresikan dengan cucuran airmata tertuang dalam gubahan syair tersebut dengan indah sekali. Keadaan tersebut diadukan kepada kawanan burung-dalam bentuk dialog personifikatif-yang dilihat oleh penyair sebagai kelompok makhluk yang beruntung karena dilengkapi dengan sayap yang membuat mereka dapat terbang kemanapun mereka suka. Tidak seperti diri penyair yang terisolir dan nasibnya yang terpasung tidak dapat pergi menemui sang kekasih yang sudah lama didambakannya.
Perkembangan kesusastraan Arab pada era jahiliyah diwarnai oleh adanya perkembangan berbagai bentuk sastra, baik prosa maupun puisi yang dikembangkan oleh orang-orang Arab pada masa itu. Perkembangan tersebut didukung juga oleh adanya berbagai kegiatan yang berlangsung pada musim haji setiap tahunnya, dengan diadakannya berbagai perlombaan pidato dan perlombaan membaca sya’ir, yang diadakan di berbagai pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di Suq ‘Ukkazh. Kegiatan-kegiatan seperti itu memberi peluang yang besar bagi para ahli sya’ir untuk mengembangkan bahasa dan gaya bahasa mereka dengan ungkapan-ungkapan yang menarik, baik dari segi zahir lafal, keindahan kata yang digunakan, maupun kandungan maknanya.[9]
Selanjutnya Ahmad Thib Raya mengutip pernyataan Syauqi Dheif menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliyah tersebut telah mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan balaghah dan bayan.[10] Orang yang melakukan kajian yang serius dan mendalam terhadap sastra Arab jahiliyah, baik prosa maupun puisinya akan berdecak kagum terhadap produk-produk kesusastraan yang mereka miliki. Hal tersebut tampak jelas dari kemampuan mereka untuk mengekspresikan pikiran-pikiran mereka sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam dunia ke-fasih-an dan ke-balaghah-an.[11]
Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin menyatakan bahwa sastra Arab klasik pra turunnya al-Qur’an ini lebih banyak mengekspresikan sesuatu dalam bentuk tasybih, dan majaz saja, terutama isti’arah.[12]
2. Balagah Pasca Turunnya Al-Qur’an
Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah pra turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah melahirkan banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an yang merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan dan kelembutan berbahasa tersebut.[13]
Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu sumber keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak balaghag (nahj al-balaghah) dan merupakan model utama (al-namuzaj al-mitsli) dalam rujukan penggubahan syai’r.
Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam diskursus kesusastraan dan kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan yang serupa dengan al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an sendiri selalu mengemukakan tantangan (al-tahaddi) kepada siapa saja yang meragukan otentisitasnya untuk mendatangkan ungkapan yang serupa dengannya walau hanya satu surat saja sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat 23 surat al-Baqarah.
Artinya: “Dan jika kalian masih diselimuti keraguan tentang kebenaran apa (kitab) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka (coba) datangkanlah sekedar satu surat yang mirip dengannya dan ajaklah para pembantu kalian selain Allah (yang kalian anggap mampu) jika kalian benar-benar jujur”.
Dan sesungguhnya mereka telah mengakui dan merasakan ketinggian dan keindahan bahasa al-Qur’an, sehingga diantara mereka ada yang meninggalkan syai’r karena lebih tertarik dengan keindahan bahasa al-Qur’an tersebut sebagaimana keterangan yang diperoleh dari Lubaid dan al-Khansa’ dua orang sastrawan dan pujangga besar masa tersebut.[14] Mereka juga berusaha keras untuk mencontoh bahasa Al-Qur’an dan mengembangkan nilai-nilai keindahannya dalam pembicaraan dan penulisan. Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan sekasama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an. Uapaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan al-Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.[15]
Pengaruh al-Qur’an terhadap Balaghah ‘Arabiyyah tersebut begitu nyata. Hal tersebut ditandai dengan dijadikannya al-Qur’an sebagai objek kajian dalam diskursus-diskursus kebalaghahan yang melahirkan karya-karya besar seperti Kitab Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaidah (w. 207 H) yang ditulis karena adanya ketidakpahaman Ibrahim bin Isma’il terhadap penggunaan tasybih dalam penggambaran sifat syajarat al-Zaqqum (makanan penduduk neraka) dalam firman Allah ayat 65 surat al-Shaffat :
طلعها كأنه رءوس الشياطين .[16]
Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat ini belum terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan yang menggembirakan.[17]
Perkembangan Balaghah yang semakin baik tersebut ditandai dengan munculnya para tokoh yang kompeten dan karya-karya besar mereka pada abad ke-III H, seperti Abu ‘Ubaidah (w. 211 H), Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Ibnu Hasan al-Rumani (w. 284 H), al-Farra’ (w.207 H), dan Al-Jahizh (w. 255 H). Abu ‘Ubaidah menyusun sebuah kitab tentang Majaz al-Qur’an yang bernama Ilmu Majazil Qur’an. Ibnu Quthaibah menulis kitab Ta’wil Musykil al-Qur’an, dan Al-Farra’ menulis kitab Ma’anil Qur’an yang meski kebanyakan berisi kajian ilmu Nahwu, tapi juga menyinggung kajian ilmu Balaghah. Sedangkan al-Rumani menyusun kitab An-Naktu Fi I’jazil Qur’an.[18] Dan Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin.[19]
Ilmu Balaghah terus mengalami perkembangan sehingga mencapai puncaknya pada abad ke-V H yang ditandai dengan semakin utuhnya kajian-kajian didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam Abdul Qahir al-Jurjani (400-471 H). Kedua kitab tersebut adalah : Pertama, kitab Asrarul Balaghah yang berisi soal-soal majaz, isti’arah, tamtsil, tasybih dan lain-lain dari cabang Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian dari Balaghah. Kedua, kitab Dala’ilul I’jaz, yang berisi tentang keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang menunjukkan kemukjizatannya.[20]
Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki pada abad ke-VII H yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin Ilmu dengan memetakannya menjadi tiga cabang ilmu sebagai komponennya, yaitu Ilmu Ma’ani, Ilmu Bayan, dan Ilmu Badi’. Namun antara ilmu Bayan dan Ilmu Badi’ masih beliau gabung dalam satu ilmu dengan istilah Ilmu al-Mahasin yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu Al-Mahasin al-Lafziyyah dan Ma’nawiyyah. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul ‘Ulum.[21]
Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.[22]
D. Urgensi Ilmu Balaghah
Posisi ilmu Balaghah dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis seperti posisi ruh dari jasad.[23] Keberadaan ilmu Balaghah dan kaidah-kaidah yang tertuang didalamnya sangat urgen. Urgensitas tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah :[24]
1. Ilmu Balaghah merupakan perangkat media yang dapat menghantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang ke-I’jaz-an al-Qur’an;
2. Ilmu Balaghah merupakan salah satu instrument yang dapat membantu seorang yang bergelut dengan diskursus al-Qur’an terutama mufassir dalam memahami kandungan isi al-Qur’an dan pesan-pesan yang tertuang didalamnya. Hal ini diperjelas oleh pernyataan al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf :
… إن أملأ العلوم بما يغمر القرائح وأنهضها بما يبهر الألباب القوارح من غرائب نكت يلطف مسلكها ومستودعات أسرار يدق سلكها علم التفسير الذي لا يتم لتعاطيه وإجالة النظر فيه كل ذي علم, ولا يغوص على تلك الحقائق إلا رجل قد برع في علمين مختصين بالقرآن, وهما علما المعاني والبيان.
“Sesungguhnya ilmu yang paling sarat dengan noktah-noktah rahasia yang rumit di tempuh, paling padat dengan kandungan rahasia yang pelik, yang membuat watak dan otak manusia kewalahan untuk memahaminya adalah ilmu tafsir, yakni ilmu yang sangat sulit untuk dijangkau dan diselidiki oleh orang yang berstatus alim sekalipun. Dan tidak akan mampu untuk menyelam kekedalaman hakekat pemahaman tersebut kecuali seseorang yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan”.[25]
Dari pernyataan al-Zamakhsyari tersebut, dapat ditangkap pesan utama bahwa ilmu tafsir merupakan ilmu yang sangat sulit dan pelik, sehingga membutuhkan pelbagai perangkat keilmuan yang mendukung dalam upaya pengkajian dan penafsiran al-Qur’an. Salah satu perangkat utama yang mendukung hal tersebut adalah adanya kompetensi dan penguasaan yang matang tentang dua ilmu utama yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan. Penguasaan kedua ilmu ini merupakan prasyarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menggali isi al-Qur’an.[26]
Hal tersebut dipertegas oleh Al-Zahabi yang mengutip pernyataan para ulama yang mempersyaratkan beberapa syarat mutlak bagi seorang mufassir dalam upaya menafsirkan al-Qur’an terutama tafsir bi al- ra’yi. Setidaknya mereka harus qualified dan menguasai lima belas jenis ilmu yang merupakan ilmu Bantu mutlak dalam upaya tersebut. Diantara kelima belas ilmu yang mesti dikuasai tersebut adalah ilmu al-Balaghah yang mencakup ketiga komponennya (ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’).[27] Berikut pernyataan Al-Zahabi :
الخامس والسادس والسابع : علوم البلاغة الثلاثة (المعاني والبيان والبديع) فعلم المعاني, يعرف به خواص تراكيب الكلام من جهة إفادتها المعنى. وعلم البيان, يعرف به خواص التراكيب من حيث إختلافها بحسب وضوح الدلالة وخفائها, وعلم البديع, يعرف به وجوه تحسين الكلام. وهذه العلوم الثلاثة من أعظم أركان المفسر, لأنه لابد له من مراعاة ما يقتضيه الإعجاز, وذلك لايدرك إلا بهذه العلوم.
Artinya: “Yang kelima, keenam, dan ketujuh adalah ilmu Balaghah yang mencakup tiga komponen ilmu (Ma’ani, Bayan, dan Badi’). Ilmu Bayan berfungsi sebagai instrument untuk mengetahui karakteristik struktur kalimat dari sisi pemberian makna. Ilmu Bayan berfungsi sebagai instrument untuk mengetahui karakteristik suatu struktur kalimat dalam hal perbedaan bentuk sisi kejelasan atau ketidak jelasan tunjukannya. Sedangkan ilmu Badi’ berfungsi sebagai instrument untuk mengenal bentuk-bentuk keindahan suatu ungkapan. Ketiga komponen ilmu ini termasuk bagian yang paling basic yang harus dikuasai oleh seorang mufassir, karena keberadaan seorang mufassir yang dituntut untuk memperhatikan sisi kei’jazan al-Qur’an. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dia menguasai ketiga komponen ilmu ini”.[28]
E. Fungsi Ilmu Balaghah
Mengenai fungsi ilmu Balaghah ini, penulis berusaha melacak berbagai sumber tentang ilmu ini terutama dalam kaitannya dengan kajian al-Qur’an. Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa setidaknya ada dua fungsi utama yang melekat pada ilmu Balaghah dalam kaitannya dengan kajian ini, yaitu :
1. Fungsi Interpretatif
Yang dimaksud dengan fungsi interpretatif ini adalah penggunaan ilmu Balaghah dalam menjelaskan dan menerangkan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Peranan fungsi ini sangat dominan dalam upaya pengkajian makna-makna teks al-Qur’an, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu ‘Ubaidah dalam kasus ketidakpahaman Ibrahim bin Ismail tentang maksud uslub tasybih dalam ayat 65 surat al-Shaffat: “ طلعها كأنه رءوس الشياطين”. Penggunaan uslub tasybih dalam menggambarkan makanan penduduk neraka berupa syajarat al-zaqqum dalam ayat diatas menimbulkan kesulitan dan kerancauan dalam pemahaman bagi setiap orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang uslub tersebut. Untuk menguraikan interpretasi klausa dalam ayat tersebut sangat dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang ilmu Balaghah. Unsur tasybih dalam klausa ayat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Dhamir “ه” yang melekat pada kata “كأنه” merupakan kata ganti untuk kata “طلع”, yang berposisi sebagai musyabbah. Lafal “كأن” merupakan adat at-tasybih, dan kata “رءوس الشياطين” sebagai musyabbah bih. Sedangkan wajah syabh tidak disebutkan secara eksplisit.
Sebagai salah seorang mufassir yang sangat memperhatikan unsur Balaghah, Imam al-Zamakhsyari dalam menafsirkan maksud ayat tersebut mengawali dengan menjalankan analisnya sesuai dengan analisis ilmu Bayan. Ia menggambarkan mayang pohon zaqqum itu sama dengan kepala-kepala syetan, yang dalam bayang pemikiran manusia sangat menakutkan dan sangat jelek bentuknya. Bayangan kejelekan dan bentuk yang menakutkan itu didasarkan atas keyakinan manusia bahwa setan merupakan makhluk yang paling jahat dan paling menakutkan yang tidak ditemukan padanya sedikitpun kebaikan. Gambaran mengenai mayang pohon zaqqum yang diserupakan dengan kepala-kepala syetan yang begitu menakutkan dan menyeramkan itu hanya ada dalam benak pemikiran manusia saja. Gambaran seperti itu oleh al-Zamakhsyari disebut dengan istilah tasybih takhyili.[29]
1. Fungsi Argumentatif
Kata “Argumen” merupakan kata serapan dari bahasa asing dan dalam bahasa Indonesia biasa diartikan dengan alasan yang dapat dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan. Dari kata tersebut lahir istilah “Argumentasi”, yang berarti pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendiriian, atau gagasan. Sedangkan “Argumentatif” adalah memberikan alasan yang dapat dipergunakan sebagai bukti.[30]
Dari pengertian-pengertian kata yang dikemukakan tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa yang dimaksud dengan fungsi argumentif ilmu Balaghah adalah suatu fungsi yang dilekatkan bagi ilmu ini dalam upaya memperkuat atau menolak pendapat yang sudah ada tentang al-Qur’an berdasarkan bukti-bukti tertentu. Yang penulis maksud disini adalah pandangan orang yang masih meragukan otentisitas dan keberadaan kitab suci al-Qur’an yang benar-benar datang dari sisi Allah SWT, bahkan cenderung menuduh bahwa kitab tersebut merupakan gubahan tangan Nabi Muhammad Saw. Bagi orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu Balaghah pasti akan menemukan nilai-nilai sastra yang sangat tinggi yang jauh melebihi kemampuan manusia untuk menggubah dan membuat yang mirip dengannya. Oleh karenanya pengetahuannya tentang ilmu Balaghah tersebut dapat menjadi argument yang mendukung ke-I’jaz-an al-Qur’an yang menunjukkan otentisitas kitab tersebut. Pengetahuan tentang Balaghah itu sekaligus membantah tuduhan dan pandangan orang yang menyangsikan otentisitas al-Qur’an selaku kitab suci yang benar-benar bersumber dari sisi Allah SWT, bukan hasil goresan tangan manusia apalagi seperti sosok Nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan sifat ke-ummi-annya.
Oleh karena itu, perhatian terhadap kajian ke-balagh-an ini sudah selayaknya menjadi perhatian serius umat Islam terutama pemerhati kajian dan diskursus al-Qur’an. Bahkan Abu Hilal al-‘Askari memandang kedudukan ilmu Balaghah sangat strategis dan utama. Ia menempatkannya dalam urutan kedua setelah ilmu yang berkaitan dengan ma’rifatullah (theology) yang mesti mendapat perhatian serius. Keberadaannya harus dijaga dan dipertahankan lewat pendidikan berkesinambungan. Karena siapa saja yang melalaikan keberadaan ilmu Balaghah pasti ia tidak akan mengetahui sisi kemukjizatan al-Qur’an, baik dari sisi keindahan susunan lafal, keunikan struktur kalimat, maupun keindahan-keindahan lainnya yang berhubungan dengan sisi maknanya.[31]
F. Macam-Macam Ilmu Balaghah
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam kitab Balaghah permulaan, ilmu Balaghah masih belum dipilah kedalam beberapa bagian seperti sekarang ini. Pemilahan ini dirintis oleh Abdul Qahir al-Jurjani, dilanjutkan oleh As-Sakaki, dan dimantapkan lagi oleh Khatib al-Qazwaini. Dalam kitab Talkhisul Miftah yang dikutip oleh Abdul Jalal, beliau menjelaskan macam-macam ilmu Balaghah sebagai berikut: [32]
a). Ilmu Ma’ani, yang membahas segi lafal Arab yang relevan dengan tujuannya. Definisinya yaitu :
علم المعاني هو أصول وقواعد يعرف بها أحوال الكلام العربي التي يكون بها مطابقا لمقتضى الحال بحيث يكون وفق الغرض الذي سيق له
“Ilmu Ma’ani ialah ketentuan-ketentuan pokok dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui ihwal keadaan kalimat Arab yang sesuai dengan keadaan dan relevan dengan tujuan pengungkapannya”.
b). Ilmu Bayan, yang membahas segi makna lafal yang beragam. Definisinya yaitu :
علم البيان هو أصول وقواعد يعرف بها إيراد المعنى الواحد بطرق يختلف بعضها عن بعض في وضوح الدلالة العقلية على نفس ذلك المعنى
“Ilmu Bayan ialah beberapa ketentuan pokok dan kaidah yang dengannya dapat diketahui penyampaian makna yang satu dengan berbagai ungkapan, namun terdapat perbedaan kejelasan tunjukan makna antara satu ungkapan dengan ungkapan lainnya yang beragam tersebut”
c). Ilmu Badi’, yang membahas keindahan kalimat Arab. Definisinya yaitu:
البديع عو علم يعرف به الوجوه والمزايا التي تزيد الكلام حسنا وطلاوة وتكسوه بهاء ورونقا بعد مطابقته لمقتضى الحال
“Ilmu Badi’ ialah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui bentuk-bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai keindahan dan estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan bungkus yang dapat memperbagus dan mepermolek ungkapan itu, disamping relevansinya dengan tuntutan keadaan”. Sumber: Lintas Sastra Arab